- Back to Home »
- ADAT DAN BUDAYA ASLI OSING BANYUWANGI
Posted by : Unknown
Selasa, 31 Maret 2015
ADAT DAN BUDAYA ASLI OSING BANYUWANGI
Budaya dan agama seringkali sulit disatukan. Banyak elemen budaya yang dianggap bertentangan dengan norma-norma agama. Ada beberapa akibat yang menyertainya. Nilai-nilai budaya perlahan-lahan ditinggalkan, atau muncul konflik antara pemegang nilai adat dan norma agama, atau malahan terjadi pembauran antara agama dan budaya. Hal terakhir inilah yang terjadi di dalam masyarakat Osing di Banyuwangi.
Orang Osing adalah masyarakat asli Banyuwangi. Mereka pengikut setia Kerajaan Blambangan sehingga mereka tetap
bertahan di Banyuwangi setelah Blambangan jatuh akibat pengaruh kerajaan Islam pada abad ke-14. Walaupun demikian, tetap ada para pengikut lain yang migrasi ke Bali bersama pengikut Kerajaan Majapahit. Mereka mempertahankan nilai-nilai agama Hindu di Kerajaan Karang Asem.
bertahan di Banyuwangi setelah Blambangan jatuh akibat pengaruh kerajaan Islam pada abad ke-14. Walaupun demikian, tetap ada para pengikut lain yang migrasi ke Bali bersama pengikut Kerajaan Majapahit. Mereka mempertahankan nilai-nilai agama Hindu di Kerajaan Karang Asem.
Dulu masyarakat Osing menutup diri dengan dunia luar untuk
mempertahankan agama Hindu di Blambangan. Namun ketika Belanda masuk
pada abad ke-16, mereka memaksa orang Osing bekerja sama dengan orang
luar. Pengaruh luar mulai masuk dan pada perkembangannya sebagian besar
orang Osing lalu memeluk agama Islam. Bahkan banyak yang menikah dengan
orang luar Osing dan menyebar ke berbagai daerah. Namun masyarakat Osing
yang tetap bertahan, masih setia dengan adat istiadat Osing, meskipun
agama Islam juga kuat di sana.
Maka terjadilah pembauran adat dan agama. Pada hari raya Idul Fitri,
mereka mengadakan perayaan adat seminggu penuh. Di sebuah desa,
Ulehsari, rangkaian perayaan Idul Fitri juga termasuk acara bersih desa
yang mereka kenal dengan sebutan Seblang. Ritual ini untuk mencapai
keselarasan antara alam dan manusia, sehingga rakyat makmur dan
terhindar dari malapetaka. Termasuk juga keselarasan dengan roh-roh yang
menghuni desa.
Masyarakat Osing yang tinggal di desa Kemiren memiliki kegiatan rutin
membaca lontar. Lontar yang berisi kepercayaan-kepercayaan Osing ini
ditulis dalam bahasa Arab. Banyak orang yang merasa terbantu masalahnya
setelah membaca lontar tersebut. Menurut Pak Pur, salah seorang tokoh
Osing dari desa Kemiren, tidak ada yang perlu disalahkan jika masyarakat
Osing merasa aman, nyaman, dan terbantu persoalannya dengan tradisi
yang ada di Osing. Agama dan adat tetap dapat berjalan seiring, yang
penting tidak ada yang mau menangnya sendiri.
Di negara multikultural seperti Indonesia, tampaknya memang perlu
dikembangkan kesadaran tentang relativisme budaya. Penting untuk
menanamkan pemikiran tentang menghargai budaya lain yang memang memiliki
esensi sendiri. Budaya adalah nilai-nilai yang dikembangkan oleh suatu
masyarakat sesuai dengan lingkungan yang mereka hadapi. Setiap budaya
itu berharga. Dan budaya tertentu tidak dapat menilai atau menghakimi
budaya lain, merasa menjadi budaya yang paling benar dan paling tinggi.
Karena banyak kearifan budaya lokal yang justru bernilai untuk menjaga
kehancuran alam semesta ini. Bukankah hutan-hutan gundul di negeri kita
akibat masuknya perusahaan-perusahaan penebangan besar itu? Masyarakat
adat pun menebang pohon dan berladang di hutan, namun mereka memiliki
mekanisme sendiri untuk mempertahankan kesuburan tanah. Semua diatur
dengan nilai-nilai adat sehingga kelangsungan alam tak terusik.
Melihat masyarakat Osing, saya menjadi tetap berani bermimpi, masih
dapat melihat Indonesia yang multikultural empat puluh tahun lagi
Wisata banyuwangi-Jaman boleh terus bergulir, namun tidak demikiandengan pola dan gaya hidup Suku Using di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah Banyuwangi.Desa yang berjarak sekitar 7 Km arah barat dari pusat Kota Banyuwangi itu, masih menjaga adat istiadat warisan leluhur mereka. Tak heran jika Pemerintah Kabupaten banyuwangi sekitar tahun 1995 menetapkan desa yang berpenghuni 2663 jiwa tersebut sebagai Desa Wisata Adat.Banyak adat Using yang masih lestari dan dipertahankan warga yang sebagian besar hidup dari bercocok tanam ini. Seperti bangunan rumah masih beraksitektur Gebyug, rumah adat Using yang memeliki ciri khas serta mempunyai filosofi kehidupan dalam berumah tangga.Kecuali itu, pola bertani tradisonal seperti menggunakan baling-baling kayu untuk mengusir hama masih dilakukan.
Upacara perkawinan masih menggunakan tatanan adat yang diturunkan secara turun temurun, semisal upacara lamaran manten dan kirab keliling kampung yang saat ini sudah jarang ditemui dikawasan Kota Banyuwangi.Tak ketinggalan menariknya,warga setempat memiliki beberapa acara adat yang diselenggarakan rutin tiap tahun, semisal Tumpeng Sewu atau biasa disebut warga 'Selamatan Bersih Desa' yang dilaksanakan pada hari Senin atau Hari Jumat awal di Bulan Haji.Selain memegang teguh adat istiadat dalam kesehariannya, warga Desa Kemiren yang kesemuanya mayoritas beragama Islam ini juga patuh pada ajaran agamanya.Hubungan sosial antar warga terjalin secara kuat. "Jika ada hajatan tetangga,kami semua berduyun-duyun urun rembug materi atau sekedar tenaga," terang Pak Timbul, sesepuh Desa Kemiren.Sifat warga yang cenderung terbuka, ramah membuat nyaman siapa saja yang berkunjung atau bahkan menginap ke Desa Kemiren ini. Tak kurang dari puluhan wisatawan tiap bulannya berkunjung untuk belajar kearifan tradisional Suku asli Banyuwangi ini.
"Jika ingin berkunjung pintu rumah kami terbuka lebar bagi siapa saja," jelas Anak Agung Tahrim, Kepala Desa Kemiren.Banyak sanggar-sanggar seni yang menjadi tempat belajar bagi tiap wisatawan, tak perlu bingung tempat untuk berteduh. Sebab lanjut Tahrim sebab hampir semua warga secara suka rela akan mempersilahkan pengunjung untuk tinggal di rumahnya.Bahkan menginap untuk jangka waktu yang cukup lama, seminggu atau bahkan sebulan. "cukup bantu kami uang belanja mas," lanjutnya.Kentalnya Budaya dan Adat di Desa Kemiren semakin lengkap dengan balutan suasana Desa yang masih Asri dengan banyaknya pepohonan yang tumbuh .Sungai-sungai masih mengalir dengan kejernihan air asli pegunungan membelah areal persawahan yang mengelilingi Desa. Jalan Desa pun sudah beraspal meski tidak semulus jalan di pusat Kota.Ditengah desa terdapat Anjungan Wisata seluas 1800 M2 yang awal pendiriannya sebagai pusat ajang kegiatan kesenian khas Using seperti Tari Gandrung maupun Barong. Anjungan itu kini menjadi tempat rekreasi konvensional dengan dua kolam renang yang menjadi andalannya.
Untuk terus menjaga kelestarian warisan nenek moyangnya, Pemerintah Desa menerbitkan Peraturan Desa atau Perdes tentang pelestarian Adat yang sifatnya hanya mengatur. Termasuk keberadaan Kelompok Sadar Wisata (PokDarWis) yang akan melayani dengan ramah kedatangan para wisatawan.Meski begitu bagi warga Suku Using di Desa Kemiren adat istiadat adalah pustaka leluhur yang harus tetap dijaga dan dilestarikan sebagai penghormatan pada nenek moyangnya. Mereka percaya jika adat istiadatnya diabaikan maka desa mereka terancam marabahaya.Wisata banyuwangi Surga Dunia..
Paket Wisata Banyuwangi
BalasHapusPaket Tour Banyuwangi
Paket Wisata Banyuwangi Murah